Permasalahan kemiskinan seolah menjadi krisis sosial tak berujung. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen.
Wakil Gubernur Sulut Dr Djouhari Kansil mengungkapkan, jumlah penduduk miskin di Sulut hingga maret 2013 berjumlah 184,40 ribu jiwa atau sekitar 7,88 persen. Jika dibandingkan tahun 2012 terjadi kenaikan 0,24 persen. Kenaikan itu terjadi di pedesaan sekitar (0,71 persen), sedangkan di kota terjadi penurunan (0,32 persen). Angka-angka itu menunjukkan belum meratanya strategi pembangunan di Sulut. Sedangkan Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) triwulan III 2013 diketahui tingkat kemiskinan Sulut pada September 2013 sebesar 8,50 persen, atau sebanyak 200.160 jiwa.
Angka-angka yang timbul itu, tentu membuat kita semua prihatin. Sulut yang dikaruniai alam yang indah, kekayaan sumberdaya yang melimpah, tapi masih saja terjadi kesenjangan distribusi kekayaan yang mencolok. Ini semua tentu harus menjadi perhatian kita bersama.
Masalah lainnya adalah etos kerja. Berbeda dengan warga luar, gengsi orang Sulut terlalu tinggi. Karena itu, banyak lapangan kerja dimanfaatkan orang luar.
Terkait bertumbuhnya tingkat kemiskinan di Sulut ini, Dosen Ekonomi Bisnis Unsrat Bode Lumanaw, menilainya disebabkan budaya. Ia berpendapat, banyak yang masih mewarisi pekerjaan orang tua. “Bila bapak pekerja bangunan, kadang anak mengikuti jejak bapaknya. Semacam sudah kultural.”
Padahal masih ada banyak profesi yang berpenghasilan lebih tinggi. Selain itu, masih ada kesenjangan perekonomian di antara kalangan berduit dan masyarakat yang berprofesi nelayan, petani, dan pedagang kecil.
Sementara Maya Rumantir, Calon Anggota DPD Sulut Nomor Urut 24, menilai, kemiskinan merupakan proses kehidupan, namun tidak serta merta kita membiarkan apabila tampak secara kasat mata kemiskinan tersebut disebabkan ulah manusia itu sendiri, atau kemiskinan terstruktur yang disebabkan oleh sistem yang salah.
Sulut, sebenarnya memiliki mekanisme canggih dalam mengentaskan kemiskinan melalui budaya mapalus atau gotong royong. Upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan dengan mengajak setiap insan dan pelaku usaha bekerjasama, bahu membahu membangun masyarakat Sulawesi Utara.
“Kemiskinan tidak bisa diperangi sepotong-sepotong,” tandasnya. Apalagi, ada banyak elemen membuat masyarakat miskin, bukan hanya masalah harta tapi miskin pendidikan, budi pengerti, budaya dan lebih parah lagi jika sampai miskin iman dan tidak memiliki kasih terhadap sesama.
Karena itu, lanjut Maya, yang pertama dilakukan perlunya memberdayakan kembali potensi-potensi ekonomi kerakyatan dimanapun di Sulawesi Utara. Upaya itu hanya bisa dilakukan melalui keterlibatan seluruh stake holder, bukan hanya pemerintah daerah, tapi kalangan swasta, gereja, alim ulama, wanita, pemuda sampai di tingkat desa-desa. “Kita akan rumuskan kebijakan yang melibatkan semua pihak dipadu dengan budaya yang sudah tumbuh ratusan tahun di Sulut yaitu mapalus,” terangnya.
Secara filosofis, mapalus mengandung makna dan arti yang sangat mendasar. Mapalus sebagai local spirit dan local wisdom masyarakat Minahasa yang terpatri dan berkohesi dalamnya terdapat 3 (tiga) jenis hakikat dasar pribadi manusia dalam kelompoknya, yaitu: touching hearts, teaching mind dan transforming life.
Mapalus adalah hakikat dasar dan aktivitas kehidupan orang Minahasa yang terpanggil dengan ketulusan hati nurani mendasar dan mendalam (touching hearts) dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab menjadikan manusia dan kelompoknya (teaching mind) untuk saling menghidupkan dan mensejahterakan setiap orang dan kelompok dalam komunitasnya (transforming life).
Menurut buku, The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja yang memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan dan trust.
Maya meyakini melalui sistem yang benar dan baik, yang dilakukan secara transparan dan berlandaskan kasih akan sesama, kemiskinan bisa dihapuskan dari bumi nyiur melambai, Sulawesi Utara. “Sulut ini memiliki potensi yang besar, kita bisa menggarapnya mulai dari pariwisata. Tapi ini diperlukan sistem yang baik, sehingga dampak jeleknya tidak lebih besar dari manfaat yang dipetik masyarakat,” terangnya.
Bukan hanya berhenti dalam pariwisata, di sektor laut maupun pertanian, Sulut memiliki potensi yang bagus yang belum diberdayakan dengan maksimal. “Tapi satu hal juga yang harus diingat, membangkitkan kembali etos kerja keras dan tidak gengsi-gengsi bagi masyarakat Sulut. Ini penting, karena semua pekerjaan yang halal dan baik itu adalah baik di mata Tuhan,” pungkasnya. (Fajar Gloria Sinuraya/fer)
Posting Komentar