Sebagai warga negara terbesar di wilayah Indonesia, Perempuan kurang mendapatkan perhatian negara dari sisi pendidikan politik. Upaya pendidikan politik banyak dilakukan terkait dengan politik praktis menjelang Pemilu. Meskipun semenjak Negara ini berdiri 68 tahun silam, perempuan sudah menjadi bagian dalam turut serta membentuk Negara seperti yang di lakukan Maria Ulfah Maramis. Namun dalam perjalanan orde baru, peranan perempuan mengalami depolitisasi, sehingga lebih mengurus urusan domestik belaka. Sehingga peranannya lebih kepada ibu rumah tangga atau sebagai indung yang berfungsi melahirkan telur saja, sedangkan partisipasinya dalam politik sangat kurang.
Sejarah tentang representasi perempuan
di parlemen, merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di
wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, yang
membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan
perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam meningkatkan
kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan,
termasukdalam politik. Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5
persendari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia
di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggisebesar 13,0
persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 persen dari
seluruh anggota perwakilan terpilih.
Adanya
anggapan bahwa dunia politik itu kotor dan keras dan kurang cocok dengan dunia
perempuan yang penuh perasaan dan kelemah lembutan, menjadikan secara tidak
langsung meminggirkan perempuan dalam pusaran politik tanah air. Seiring
lahirnya reformasi, dan Indonesia memasuki era demokratisasi, maka kontrol kuat
dari pemerintah terhadap politik di tanah
air menjadi berkurang. Kini berganti kepada semangat kebebasan sehingga semua
orang berhak mensuarakan pendapat dan haknya dalam partisipasi politik,
walaupun begitu ruang itu belum dapat di manfaatkan, sehingga untuk mendorong keterwakilan
perempuan dalam politik, sampai peraturan perundang-undangan mengatur 30%
perempuan bagi Partai Politik (Parpol), dalam menempatkan calon legislatifnya. Sampai pada pemilu
2009, di keluarkannya kuota 30%
keterwakilan perempuan dalam parlemen. Hasilnya
pada pemilu 2004 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI
(11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi,
hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Bahkan pada
pemilu 2009, kenaikannya cukup signifikan yaitu dari 9% menjadi 17,7%. Namun di
provinsi situasinya berbeda, ada provinsi yang keterwakilan perempuannya cukup
baik dan ada juga provinsi yang tidak memiliki keterwakilan perempuan dalam
parlemennya. .
Sementara keterwakilan perempuan pada
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pencapaiannya sedikit lebih baik dibanding dengan
keterwakilan perempuan di DPR. Keterwakilan perempuan di DPD menurut hasil
pemilu tahun 2004 sebesar 19,8 persen dan meningkat menjadi 22,7 persen pada
pemilu 2009. Namun demikian capaian ini tidak diikuti oleh semua provinsi,
seperti pada provinsi Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009
keterwakilan perempuan di DPD tidak ada. Sementara terdapat 2 provinsi yang
mencapai 37 persen yaitu provinsi Irinjaya Barat dan Kepulauan Riau.
Maya Rumantir yang terkenal dengan lesung pipitnya dan
sebagai Senator terpilih dari Provinsi Sulut menuturkan, “Kita sekarang tahu
bahwa semangat Kartini bukan lagi emansipasi dalam sektor pekerjaan formal
seperti perkantoran, ekonomi, guru, atau sektor sosial lainnya. Sekarang diperlukan peranan
perempuan lebih besar dalam politik tanah air. Habis gelap terbit lah terang,
itu yang perlu di suarakan kaum perempuan dalam partisipasinya di politik,
sehingga perempuan pun dapat di libatkan dalam menyusun kebijakan atau
perundang-undangan Negara yang mampu membela kepentingan rakyat juga kepentingan
kaum-kaum perempuan di dalamnya. Kita jangan lagi alergi bahwa politik itu
urusan laki, tetapi perempuan juga bisa dan mampu. Mampu bukan sekedar mampu
saja, namun perlu di ikuti dengan peningkatan kualitas dan pembelajaran guna
memahami masalah yang timbul di
masyarakat.”
Menurit Nata Rumantir, kita sudah pernah punya presiden perempuan, itu berarti kita juga
bisa mengambil peranan penting dalam kehidupan Negara dan berbangsa, yang
tujuannya demi kebaikan dan kesejahterahan bersama. (Fajar
Gloria Sinuraya/fer)
Posting Komentar