Hidup adalah suatu anugerah.
Tak ada seorang pun bisa memilih terlahir sebagai apa dan dari mana dia
berasal. Demikian pula tak ada seorang pun mampu menambah sehasta saja dari
waktu kehidupannya tanpa perkenan Nya. Karena kehidupan ini sejatinya given.
Pemberian terindah dari Sang pencipta. Hidup tentulah mesti diperjuangkan.
Sekalipun begitu, kehidupan yang penuh dengan misteri ini pun memiliki
hukum-hukumnya sendiri. Untung dan malang menjadi pernak-pernik hidup yang
dijalani silih berganti, dimana ukuran
yang kita terapkan pada orang lain, kelak dipakaikan pula bagi diri kita
sendiri. Untuk itulah, hidup mestilah
diisi dengan rasa berbagi dan saling menghidupkan sesamanya. Hal itu sekaligus
meneguhkan kita, setiap insan bukanlah hidup bagi dirinya sendiri, melainkan
juga memikul beban tanggungjawab bagi masyarakat maupun tanah tumpah darahnya. Sekecil apapun kebaikan yang kita perbuat
bisa bermakna besar bagi orang lain. “JADILAH
BUNGA BAGI BANGSAMU, AGAR HARUMLAH NEGERIMU.”
Menjadi Berkat Untuk Sesama
Terlahir dari pasangan
ayah
Salvatore W Rumantir asal Kaskasen, Tondano, Kabupaten Minahasa dan
ibu
Elsri Tanzil yang
besar di Makasar, kehidupanku berjalan mengalir seiring waktu. Keluarga besarku, bukan hanya membaur, tapi menyatu dalam nafas
kehidupan sehari-hari masyarakat dan alam Minahasa yang cerah, berbukit-bukit dipenuhi pepohonan kelapa. Sebagaimana insan
lainnya, keluarga tempat dibesarkan memberikan pengaruh yang mendalam bagi
kehidupanku. Apalagi, bumi
nyiur melambai dikenal memiliki akar budaya sangat kaya dan beragam.
Keberagaman adalah suatu keniscayaan, sehingga masyarakat Sulawesi Utara pun
dikenal sebagai masyarakat terbuka bagi masuknya nilai-nilai maupun tradisi baru
yang dianggap mendorong menuju kemajuan
dan kebaikan. Sekalipun begitu,
masyarakat Sulawesi Utara sangat menghargai petuah bijak yang diwariskan para leluhur turun temurun. Salah satu yang dikenal luas ungkapan “Si Tou Timou Tumou Tou” dari Minahasa yang dalam terjemahan bebas,
hidup mestilah menjadi berkat atau menghidupi sesamanya. Nilai-nilai itu banyak
mempengaruhi masyarakat yang secara kultural menjadi salah satu pegangan
dalam menjalani hidup sehari-hari masyarakat dan keluarga-keluarga yang hidup
di sana.
Ungkapan “Si Tou Timou Tumou Tou” dapat
dipandang sebagai suatu cara pandang Tou (manusia) sebagai makhluk sosial
budaya, menempatkan dirinya dalam kerangka kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan ber-negara. Prinsip hidup itu tidak saja mengandung sikap luhur tentang sikap dan perilakunya
itu, tetapi secara menyeluruh dan utuh menggambarkan jatidiri/identitas manusia
dan masyarakat sebagai bagian integral manusia dan masyarakat Indonesia. Dalam
berinteraksi dengan lingkungannya itu, Tou
membentuk ciri-ciri kebudayaannya dan sekaligus jati dirinya, melalui
interaksi kemampuan nalar transedental sehingga mengembangkan pula ciri
spiritualnya. Berdasarkan pemikiran mendasar ini maka prinsip hidup “Si Tou Timou Tumuo Tou” dapat diterima
masyarakat bukan Minahasa tempatnya
berasal, tapi masyarakat Sulawesi Utara umumnya sebagai pandangan hidup yang
mampu mengarahkan kehidupannya berperan serta membangun kehidupan dan bertanah
air yang berkualitas.
Menguraikan makna “Si Tou Timou
Tumuo Tou” dalam pelbagai ungkapan aktual kehidupan sehari-hari di pelbagai
segi/sektor dan subsektor kehidupan manusia Minahasa, pertama-tama harus
dikemukakan si Tou (manusia) adalah manusia Minahasa baik keturunan asli orang
Minahasa maupun orang Minahasa berdarah campuran etnis lain dan juga pendatang
yang tinggal dan menetap di tanah Toar Lumimuut dalam perspektif yang sama membangun tanah Minahasa. Timou
(tumbuh dan berkembang) manusia Minahasa bukan manusia yang statis dan tidak
berkembang tetapi Tou Minahasa orang yang mau tumbuh dan berkembang. Secara
umum dapat dikatakan, manusia Minahasa adalah manusia yang setara dan egaliter,
termasuk kesetaraan gender dimana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang
sama dan tidak menganut paham Patriarki. Hal ini bisa dibuktikan dimana
perempuan bisa menjadi pemimpin,
seperti juga diterapkan di salah satu sub etnis di Minahasa, yaitu Tountembouan
sebagian besar Walian (pemimpin upacara adat) adalah perempuan. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip hidup
seperti itu manusia Minahasa tumbuh dan berkembang.
Begitulah, mewarisi nilai-nilai adalah keniscayaan bagi seorang anak.
Apalagi, mereka yang hidup dalam tradisi kekerabatan dan budaya mapalus
atau gotong royong. Sekalipun, aku terlahir dan menghabiskan masa remaja di
Makasar, kota yang terpaut ribuan mil
dari tanah Minahasa, tapi falsafah “Si Tou Tomou Tou” bukanlah sesuatu yang
asing. Karena ini menjadi bagian dari nilai-nilai keluarga besarku. Bagiku
pribadi, hidup adalah sebuah anugerah.
Kita tak bisa memilih kehidupan ini,
karena kehidupan adalah pemberian indah yang mesti dijalani dengan penuh
rasa syukur dan tanggungjawab. Kebajikan-kebajikan yang diturunkan dari
nilai-nilai yang baik kelak menjadi modal merajut kehidupan selanjutnya. Dalam
perjalanan waktu, akupun mensyukuri, jika bisa menjadi saluran berkat, berbagi
untuk kehidupan sesama, entah itu dalam bentuk menginspirasi, menghibur,
mendoakan atau melakukan hal-hal kongkrit yang bisa dilakukan, sehingga bisa
menjadikan banyak orang bisa menjadi mandiri dan bermanfaat bagi kehidupan
ini. Membangun kelayakan melalui
doa, amal dan menolong sesama. (Maya Rumantir/dikutip dari buku Menghitung
Hari, Mengejar Kualitas Kehidupan)
Posting Komentar