Bumi Nyiur Melambai, Sulawesi Utara, tak bisa dilepaskan dari peristiwa-peristiwa heroik yang mewarnai Indonesia. Apalagi, diantara ribuan putra dan putri asal Sulut yang telah mengharumkan nama Sulut dan Indonesia sejak perang kemerdekaan yang kuburannya bertebaran di banyak daerah di Indonesia, terdapat 9 figur yang dinobatkan menjadi pahlawan nasional.
Mereka adalah Robert Wolter Minginsidi, Gerald Saul Samuel Johanes (GSSJ) Ratulangi, Arie Fredik Lasut, Jahaya Daniel Dharma, Pierre Tendean, Frans Mendur, Alex Mendur, Maria Walanda Maramis dan terakhir yang baru saja dinobatkan, Bernad Wilhelm Lapian.
Mereka adalah Robert Wolter Minginsidi, Gerald Saul Samuel Johanes (GSSJ) Ratulangi, Arie Fredik Lasut, Jahaya Daniel Dharma, Pierre Tendean, Frans Mendur, Alex Mendur, Maria Walanda Maramis dan terakhir yang baru saja dinobatkan, Bernad Wilhelm Lapian.
Dalam sejarahnya, bumi nyiur melambai, memang melahirkan banyak para pejuang sejati, bukan saja laki-laki melainkan kaum perempuannya. Apalagi, dalam budaya orang Sulawesi Utara, tidak ada perbedaan menyolok antara laki-laki maupun perempuan. Karena semuanya sesuai dengan kodratnya mulia di hadapan Allah Maha Pencipta. Dalam bulan Desember, menjelang peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember 2015 dimana setiap 1 Desember masyarakat Sulut memperingati sosok pahlawan nasional wanitanya, baiklah kita kedepankan Maria Josephine Catherine Maramis.
Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 – meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun) atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini.
Maria lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara, dekat Kota Airmadidi propinsi Sulawesi Utara. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai wafat pada 22 April 1924. Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada 20 Mei 1969. (*/dari berbagai sumber)
Posting Komentar