JAKARTA — Rapat Kerja Komite III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPD RI) bersama Kementerian Agama RI dilaksanakan guna membahas program kerja Kementerian Agama RI tahun 2020 secara khususnya tentang dukungan fasilitas sarana dan prasarana Ibadah serta Persiapan Pelaksanaan Ibadah Haji tahun 2020. Forum rapat kerja berlangsung alot dengan ragam pandangan, masukan bahkan kritikan dari para Sentor untuk Menteri Agama RI Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi Batubara. Jakarta, Gedung B DPD RI (11/02/2020).
Senator Maya Rumantir sebagai utusan Sulawesi Utara di DPD RI hadir dalam forum rapat kerja membawa sejumlah aspirasi masyarakat Sulawesi Utara. Maya Rumantir mengawali penyampaiannya dengan mengutarakan sejumlah keluhan masyarakat Sulut terkait kualitas pelayanan yang masih kurang untuk umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Dimana pembinaan dan kenyamanannya dalam menunaikan ibadah haji masih terabaikan. Hal ini dapat dilihat semisal dari pemondokan serta transportasi jamaah Haji Indonesia di Mekkah yang masih berbiaya tinggi.
Tokoh Nasional yang mendirikan
Komunitas SABDA (Peace and Friendship
Community) juga menyampaikan langsung ke Menag bahwa kuota calon Jamaah
Haji (CJH) di Sulawesi Utara memiliki sejumlah permasalahan. Aspirasi yang
disampaikan masyarakat melalui Maya Rumantir bahwa kursi antrian Calon Jamaah
Haji terindikasi diperjualbelikan. Yang paling miris juga bahwa masyarakat
mengeluhkan adanya makelar untuk Calon Jamaah Haji.
“Saya berharap Kementerian Agama
RI agar dapat berkoordinasi dengan pimpinan di Kanwil Sulut serta pemerintah
daerah dan pihak terkait lainnya sehingga hal-hal seperti kurangnya pelayanan
bagi jamaah haji Indonesia, indikasi diperjualbelikannya kursi antrian Calon
Jamaah Haji dan makelar untuk Calon Jamaah Haji agar dapat ditindaklanjuti
secara serius. Hal ini demi kenyamanan umat dalam menjalankan ibadah haji,”
tegas Maya Rumantir.
Ia menambahkan bahwa saat ini
terkait tempat beribadah di Indonesia masih menemui beberapa masalah terkait
pembangunan atau pendirian. Semisal yang terjadi di Kabupaten Minahasa Utara
Provinsi Sulawesi Utara beberapa waktu lalu yakni terkait kasus perusakan balai
pertemuan yang dipaki oleh Umat Muslim untuk beribadah.
“Beberapa waktu lalu sempat
ramai terkait perusakan balai pertemuan yang digunakan Umat Muslim untuk
beribadah. Hal ini bisa tertangani dengan cepat oleh pemerintah daerah yang
berkoordinasi juga dengan Kementerian Agama serta tokoh agama dan masyarakat
setempat. Sedangkan untuk beberapa daerah lainnya di Indonesia masih terdapat
perlakuan yang berbeda baik oleh pemda maupun Kemenag. Masyarakat Sulawesi
Utara dan saya selaku senator merasa bahwa masih ada begitu banyak pembiaran
tindakan diskriminatif yang terjadi di Indonesia,’ ucap Maya Rumantir.
Lebih lanjut, Maya Rumantir menyampaikan
bahwa tak jarang ada juga yang melakukan pembakaran atau perusakan rumah ibadah
serta penolakan sejumlah tempat ibadah dibeberapa daerah. Semisal penolakan untuk
dilakukannya renovasi tempat ibadah yang bahkan sudah memiliki IMB sebagaimana
yang dialami oleh Gereja Katolik Paroki Santo Joseph Tanjungbalai. Gereja
tersebut sudah memiliki IMB dan bahkan sudah ada sejak tahun 1928 namun
masyarakat ngotot agar pemerintah segera mencabut IMBNya. Hal ini dirasa
sebagai bentuk diskriminasi dan perlu perhatian serius pemerintah khususnya
Menteri Agama.
“Saya menerima aspirasi dari masyarakat yang
meminta agar Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri soal pendirian tempat ibadah
untuk bisa dibahas kembali, jangan malah bertentangan dengan pasal 28 dan 29
UUD 1945 tentang kebebasan dan kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadah.
Jika ada produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan semangat konstitusi
maka itu tidak boleh dibiarkan. Perlu dilakukan deregulasi, perlu dihapus SKB
menteri yang menghalangi kebebasan beribadah karena kebebasan beragama termasuk
beribadah jelas dijamin oleh konstitusi,” tegas senator Maya Rumantir.
Maya Rumantir juga meminta kepada Menteri Agama
untuk memperhatikan gejala-gejala normalisasi intoleransi. Gejala ini bisa
dilihat dari tindakan masyarakat yang mulai menganggap bahwa tindakan
intoleransi sebagai hal yang normal di negeri ini. Ditekankan juga bahwa jangan
sekali-kali melakukan pembiaran bagi penyerangan atas kelompok yang berbeda
keyakinan, penutupan tempat ibadah, ceramah kebencian dan lainnya yang
berpotensi konflik horizontal dimasyarakat. (hr)
Posting Komentar